KEARIFAN ARSITEKTUR LOKAL DALAM BERADAPTASI TERHADAP KONDISI IKLIM DI DAERAH TROPIS LEMBAB (Studi Kasus: Pemukiman Rumah Rakit di Sungai Musi Palembang)
Abstract
Abstract
There are a variety of patterns of raft housing found in the traditional settlement along the Musi River of Palembang. They form a specific dwelling environment consisting of traditional housing on water. Customary values cultivated in the traditional settlement contain aesthetic values and local wisdom of the society. The social and cultural variety of the society along the Musi River and its upper stream called batang hari sembilan ‘the nine rivers’ does not exist instantly but gradually. This paper tries to present those aspects based on the research the writer did using phenomenological descriptive method, that is aimed at describing an architectural phenomenon emerged through local wisdom of Palembang society. The analysis of this study covering formation, building orientation, season variables, and thermal convenience is intended to dig up local wisdom and expose building architectural values and conditions of Palembang traditional settlement. It is expected that local wisdom is internalized and accepted by the people concerned as local creativity which is wise, valuable, and beneficial.
Key words: Local wisdom, raft housing, thermal convenience
Pendahuluan
Sejalan dengan kemajuan jaman, rumah-rumah tradisional seperti rumah rakit Palembang mengalami desakan modernisasi yang sangat kuat sehingga keberadaannya menjadi semakin langka, padahal referensi tentang keaneka ragaman budaya bangunan ini belum banyak tersedia. Kalau tidak dipelajari, dapat diperkirakan bahwa suatu saat kelak anak cucu kita tidak dapat mengenali dan berbangga hati atas budaya yang pernah dimilikinya. Ironisnya lagi, referensi tentang rumah-rumah tradisional Nusantara malah dibuat oleh bangsa asing. Buku yang berjudul “The Tradisional Architecture of Indonesiaâ€, buah karya Barry Dawson dan John Gillow, terbit tahun 1994 merupakan bukti tentang hal ini, walaupun kurang lengkap karena masih merupakan garis besar dan tidak mencakup semua bangunan tradisional yang kita miliki.
Sebagai bangunan pribadi rumah harus dilengkapi dengan studi tentang keinginan penghuninya agar selaras dengan keinginan tersebut dan dapat melindungi penghuninya dari pengaruh cuaca dan bahaya lain yang ada (Kureja, 1978). Hal ini sesuai dengan pendapat Amos Rapoport (1969), yang mengatakan bahwa sebagai tempat berlindung, rumah sangat diperlukan manusia karena merupakan faktor utama dalam usahanya untuk tetap bertahan melawan musuh, iklim, hewan buas dsb. Cara-cara untuk beradaptasi dengan kondisi iklim maupun lingkungan merupakan buah hasil kearifan lokal daripada masyarakat itu sendiri.
Kondisi geografis kawasan juga memiliki pengaruh terhadap bentuk rumah tradisional yang meliputi aspek arsitektur, konstruksi, bahan bangunan dan filosofi. Sumatera Selatan yang sebagian besar merupakan wilayah lahan basah (wetland) di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Walaupun beberapa tipe rumah tradisional Palembang memiliki bentuk rumah panggung, tetapi masing-masing tipe rumah panggung memiliki perbedaan sistem struktur yang adaptif terhadap lingkungan di sekitarnya. Demikian juga dengan Rumah Rakit yang sesuai dengan wilayah yang memilki banyak sungai besar.
Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local genious) diterjemahkan sebagai kecerdasan/pengetahuan setempat atau pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal (adat, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, tehnologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian) dalam menjawab berbagai masalah untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan memperhatikan ekosistem serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri (Hermana, 2006). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan.
Budaya lokal tercipta melalui proses yang panjang, bersifat evolutif, dan proses transfer ilmunya melalui bahasa tutur/lisan dan praktek langsung secara trans generasi. Dengan demikian tidak ada hak cipta, tidak diketahui penemunya, namun dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan bahkan menjadi nilai budaya yang mengikat perilaku masyarakat. Itulah yang disebut “tradisional†sebagai ungkapan yang berlawanan dengan “modern†yang selalu diketahui penemunya. Penciptaan atau temuan yang bermakna bagi keberlangsungan hidup masyarakat setempat itulah yang lebih sering disebut kearifan lokal.
Dalam konteks rumah tradisional, kearifan lokal yang menyertai proses pembangunan rumah sudah mengatur harmonisasi antara kebutuhan teknologi, bahan bangunan, desain, tata letak, dengan kemampuan alam. Harmonisasi dicapai oleh masyarakat tradisional dengan terlebih dahulu mengenal dan memahami dengan baik kondisi lingkungannya. Masyarakat tradisional sangat menguasai konsep ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi antara makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga tercipta kehidupan yang seimbang, serasi dan selaras (Frick dan Suskiyatno 1998).
Komponen ekosistem terdiri atas lingkungan abiotik, organisme produsen, organisme konsumen, dan organisme perombak. Masyarakat tradisional telah menyelaraskan diri terhadap keberadaan komponen ekosistem tersebut sehingga terciptalah rumah tradisional sebagaimana banyak kita lihat dengan seperangkat kearifan lokal yang berupa pranata teknologi, kelembagaan, agama, dan lain-lain. Inilah yang dimaksudkan dengan adaptasi ekologis perumahan tradisional. Organisme yang beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk (Forum sains 2011):
- Memperoleh air, udara dan nutrisi (makanan),
- Mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur, cahaya dan panas,
- Mempertahankan hidup dari musuh alaminya,
- Bereproduksi,
- Merespon perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Adaptasi ekologis tersebut jika berlangsung secara evolutif, akan menghasilkan sebuah kehidupan yang harmoni dengan alam. Pada masyarakat Rakit Palembang, harmonisasi dapat digambarkan dengan mudahnya mereka mencari sumber-sumber penghidupan di sekitar rumah mereka antara lain mengail ikan di teras rumah, memelihara ikan dalam karamba di samping rumah, berdagang minyak, dan lain-lain. Meskipun demikian, aktivitas domestik dan sosial tetap berjalan. Dengan kata lain, fungsi rumah sebagai wadah aktivitas sosial, ekonomi, fisik tetap terlaksana dengan baik meskipun lahan mereka berupa air.
Diterbitkan oleh:
Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Alamat Kantor:
Jl. Raya Palembang - Prabumulih Km. 32 Indralaya, OI, Sumatera Selatan (30662)
Phone: +62
Faximile: +62
E-mail:
jurnalarsitekturunsri@gmail.com
Homepage:
http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jas/index
http://arsitektur.ft.unsri.ac.id/