Minimalisasi Patah Pelepah Tanaman Kelapa Sawit Akibat Musim Kemarau Melalui Aplikasi Biopori dan Abu Boiler

M. Umar Harun

Sari


Dampak kemarau terhadap kelapa sawit berupa patah pelepah, rusak pertajukan, banyak bunga jantan dan dapat berakibat  tidak menghasilkan TBS sampai 3 atau 4 bulan. Untuk mengatasi pengaruh negatif kemarau maka pemberian air dan ju gahara mineral terhadap kelapa sawit saat menjelang dan selama kemarau didugadapat meminimalisasi dampak negatif tersebut. Air yang diberikan sangat bergantung dari intensitas penyiraman melalui lubang biopori dan hara mineral berupa P, K, Ca, Mg dan Si sangat bergantung dari dosis abu boiler. Oleh sebab itu, kombinasi intensitas penyiraman air dan dosis abu boiler perlu diperoleh agar tanaman kelapa sawit berkecukupan air dan nutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kombinasi intensitas penyiraman melalui biopori dengan dosis abu boiler sehingga dapat dijadikan ipteks terapan untuk meminimalisasi dampak buruk climate change terhadap kelapa sawitDampak kemarau terhadap kelapa sawit berupa patah pelepah (sengkleh) , rusak sistem pertajukan, banyak muncul  bunga jantan, dan menurunnya jumlah betina, dan dalam periode berikutnya  tidak menghasilkan tandan buah sawit (TBS)  sampai 4 bulan.  Untuk mengatasi pengaruh negatif kemarau maka pemberian air dan amelioran abu boiler sebagai suplai  hara (Mg, Si dan Ca)  terhadap kelapa sawit saat menjelang dan selama kemarau diduga dapat meminimalisasi dampak negatif terhadap kelapa sawit varietas marihat umur 14 tahun di kebun riset FP Unsri, Inderalaya. Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan penyiraman kelapa sawit saat musim kemarau ternyata berpengaruh tidak nyata terhadap peubah tingkat kehijauan daun, kadar air daun, pelepah menuju sengkleh, pelepah sengkleh, pelepah patah, daun tombak, tandan buah segar, bunga jantan, bunga betina dan primodia, tetapi berpengaruh nyata terhadap peubah kadar air tanah. Perlakuan dosis abu berpengaruh tidak nyata terhadap peubah kadar air daun, kadar air tanah, pelepah lemah, pelepah sengkleh, daun tombak, tandan buah segar, bunga betina, dan primodia, tetapi berpengaruh nyata terhadap peubah tingkat kehijauan daun dan bunga jantan. Untuk interaksi berpengaruh tidak nyata pada semua peubah yang diamati.  Dari hasil pengukuran kadar air tanah sebelum kemarau sekitar 54,10% menjadi 47,20% untuk kelapa sawit yang tidak disiram dan diberi abu, dan untuk yang disiram setiap 3 hari sekali dan diberi abu 10 kg/pokok mempunyai kandungan air tanah awal 54,25% yang menjadi 57,90% pada akhir kemarau. Hasil penelitian ini menghasilkan informasi bahwa  indikator stress tanaman (prolin) telah dianalisis untuk semua perlakuan secara komposit dimana untuk kelapa sawit yang tidak diberi perlakuan mempunyai kandungan prolin pada juni sekitar 6,04 (u mol/g bb) selanjutnya pada akhir kemarau yaitu oktober  menjadi 8,75 (u mol/g bb) dan untuk kelapa sawit yang diberi penyiraman 3 hari sekali dan abu boiler 10 kg pada awal kemarau menunjukan nilai prolin 3,48  (u mol/g bb) dan prolinnya 6,79 (u mol/g bb) pada akhir kemarau.    Kandungan  hara N, P, K pada daun pelepah ke 17 pada awal kemarau  untuk yang tidak diberi perlakuan yaitu 1,73%, 0,12% dan 0,5%.  Selanjutnya untuk yang diberi penyiraman 3 hari sekali dan abu boiler 10 kg NPK adalah 2,33%, 0,16%, dan 1,20%.  Untuk jumlah daun tombak kelapa sawit nampaknya tidak ada pengaruh penyiraman air dan abu boiler selama musim kemarau.  Selama kemarau berlangsung tampaknya pengaruh perlakuan telah menyebabkan terjadi perbedaan jumlah primordial,  Jumlah bunga betina, jumlah bunga jantan, dan jumlah tandan buah segar (TBS).


Teks Lengkap:

Tidak berjudul

Refbacks

  • Saat ini tidak ada refbacks.


Majalah Ilmiah Sriwijaya ISSN 0126-4680